Rumah BenQi

Terus Belajar... Belajar Terus...

  • Home
  • Ummi’s Story
  • Islamic Homeschooling
  • Una’s Story
  • Taqi’s Story
  • benkdash

June 27, 2010 By Ummu-Una 4 Comments

ISLAMIC HOMESCHOOLING

Upaya mengembalikan fungsi rumah sebagai wahana tarbiyah  Islamiyyah sebagaimana diamalkan Salaful Ummah

Oleh : Abu  Muhammad Ade Abdurrahman

Home-Schooling secara harfiah berarti :  bersekolah di rumah.

Home-Schooling diselenggarakan ketika  orangtua berkeberatan atau merasa kesulitan menyekolahkan anaknya, baik  karena alasan jarak (karena tinggal di pedalaman, misalnya) ataupun  karena alasan-alasan tertentu lainnya.

Mengapa disebut  Home-Schooling (bersekolah di rumah), bukan Home-Learning (belajar di  rumah) ? Padahal istilah yang kedua sebenarnya lebih tepat. Barangkali  ini adalah bias budaya. Kita maklum, saat ini bersekolah merupakan  tradisi yang sudah sedemikian merata. Hingga kemudian dianggap suatu  kelaziman, atau bahkan keharusan bagi anak-anak.

Karena itu,  ketika seseorang mencoba untuk tidak menyekolahkan anaknya maka dia  khawatir akan dianggap telah melakukan ‘pelanggaran terhadap hak asasi  anak’.

Untuk itulah, barangkali, para orangtua yang  menyelenggarakan pembelajaran anak-anak mereka di rumah seakan hendak  ‘membela diri’, bahwa merekapun sebenarnya menyekolahkan anak-anak  mereka juga. Hanya berbeda lingkungan dan metodenya. Itulah, mengapa  kemudian disebut Home-Schooling. Untungnya, dalam hal ini pemerintah  tidak salah kaprah sehingga menetapkan kebijakan : wajib belajar. Dan  tidak menetapkan wajib bersekolah.

Substansi dari bersekolah  (schooling) sebenarnya adalah belajar (learning). Belajar dapat  dilakukan di manapun. Bersekolah hanyalah salah satu cara untuk belajar.  Jadi, para orangtua tak perlu merasa bersalah atau rendah diri dengan  menjalankan Home-Schooling. Juga, mereka yang menyekolahkan anaknya ke  sekolah massal pun jangan dulu berbangga hati.

Sebab, kalau kita  mau lebih menukik pada kedalaman realitas, kita patut mempertanyakan :  Apakah benar bersekolah itu otomatis sama dengan belajar ? Jawabannya :  Belum tentu !

Mari kita pelajari faktanya ! Saat  ini, berapa puluh juta lulusan sekolah menengah atas dan perguruan  tinggi ? Di sisi lain, berapa puluh juta pula yang berstatus  pengangguran ? Padahal, betapa besar karunia Allah berupa kekayaan alam  di negeri ini. [1] Apa yang mereka pelajari di sekolah ? Inilah salah  satu fakta bahwa belajar di sekolah belum tentu efektif. Dengan kata  lain bersekolah belum tentu berarti belajar.

Dalam banyak kasus,  bersekolah bahkan menjadi penyebab kegagalan hidup seorang anak. Tidak  sedikit anak yang terjerumus kepada hal-hal negatif yang menghancurkan  hidup mereka, justeru mereka dapatkan lewat pergaulan di sekolah, baik  dari (oknum) guru-guru mereka atau dari (oknum) kawan-kawan mereka.

Tanpa  perlu penelitian mendalam, banyak yang menilai bahwa metode  pembelajaran dan sistem evaluasi yang sekarang berjalan pun cenderung  menciptakan mental-block (hambatan mental) yang menghambat laju  kreatifitas anak, padahal justeru hal itu amat dibutuhkan di era  informasi global saat ini.

Sekiranya otak anak terus menerus  hanya dijadikan keranjang informasi iptek (itupun hanya sebatas untuk  keperluan menyelesaikan soal-soal ujian). Maka dapat dibayangkan, betapa  akan kesusahannya dia mengejar laju pertambahan informasi iptek yang  terus berkembang dalam hitungan jam, atau bahkan menit.

Mengapa  tidak terpikirkan oleh kita – para orangtua – untuk melatih dan mengasah  otak mereka yang ajaib itu agar mampu memola ulang informasi tersebut,  sehingga akhirnya mereka mampu menciptakan informasi baru ?

Merangsang  anak untuk bertanya ‘Apa .?’ , ‘Mengapa . ?’ dan ‘Bagaimana. ?’ adalah  hal yang penting sekali. Keingintahuan adalah tabiat dasar mereka.

Namun  di samping itu, kita pun perlu merangsang anak untuk bertanya :  ‘Mengapa tidak .?’ dan ‘Bagaimana jika .?’. Agar mereka menjadi  insan-insan kreatif. Jangan keliru, kreatifitas pun sebenarnya adalah  bakat alamiah setiap anak, jika saja para orangtua tidak malas  mengasahnya. Atau, malah menyia-siakannya.

Sayang sekali,  keingintahuan (curiosity) dan kreatifitas (creativity) – dua mutiara  terpendam dalam jiwa anak – saat ini justeru banyak ditelantarkan di  sekolah massal (formal). Wajar kalau Robert T. Kiyosaki berteriak  lantang : “If You Want To Be Rich And Happy, Don’t Go To School !”.

Ada  alasan lain : “Keunikan”. Anak itu unik! Cara belajar mereka juga unik,  seunik sidik jari mereka; yakni masing-masing anak secara individual  memiliki pembawaan dan cara yang khas dalam menyerap serta menggali  pengetahuan. Jadi, bagaimana mungkin anak-anak dapat menemukan cara  belajar mereka yang unik, jika mereka dituntut harus “berseragam” di  sekolah ?

Berdasarkan penelitian [2] bahwa seseorang menjadi  jenius adalah pada saat dia mampu menemukan sendiri cara belajarnya yang  unik dan orisinil. [3] Seperti dikatakan Enstein : “Saya tidak memiliki  bakat-bakat khusus, tetapi hanya memiliki rasa keingintahuan yang besar  sekali.”.

Keingintahuan yang sangat besar – dilandasi keikhlasan  – jugalah nampaknya yang membuat Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani  rahimahullah mampu bersabar duduk berjam-jam lamanya di sudut sepi  perpustakaan. Beliau lakukan itu berpuluh-puluh tahun lamanya hingga  akhirnya menjadi jenius di bidang hadits dan ilmu-ilmu syar’i lainnya.  Menjadi mujaddid abad ini sebagaimana diakui ulama besar yang sezaman  dengan beliau, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah.

Namun, agar tidak memunculkan kontroversi yang sia-sia, perlu  ditegaskan di sini bahwa :

  • Menyelenggarakan home-schooling  tidak berarti hendak mengingkari atau menggugat profesi keguruan.
  • Menyelenggarakan home-schooling tidak berarti hendak mengingkari atau  menggugat peran sekolah formal yang sudah ada dan banyak memberikan  kontribusi kepada masyarakat.
  • Kami pun tidak mengklaim bahwa :  Home-schooling adalah satu-satunya cara untuk mendidik Anak.

Tetapi  yang kami yakini :

  • Home-Schooling adalah : Sarana paling  efektif dalam upaya membangun hubungan baik dan hangat dengan Anak.  Mendampinginya saat ia menjalani hari-harinya untuk terus tumbuh dan  berkembang menjadi manusia dewasa.
  • Home-Schooling adalah :  Alternatif terbaik dalam mendidik Anak, memelihara fithrahnya serta  mengembangkan potensinya yang unik. Karena berpijak pada orisinalitas  dan individualitasnya sebagai hamba Allah.
  • Home-Schooling  adalah : Sebuah kesempatan emas (furshoh dzahabiyyah) untuk menunaikan  secara optimal peran dan tugas keorangtuaan yang nanti akan dituntut  pertanggungjawabannya di hadapan Allah.
  • Home-Schooling adalah :  Sebuah kesempatan emas (furshoh dzahabiyyah) untuk mengembangkan  potensi orangtua dan anak dalam hal penguasaan ilmu syar’i, memperbaiki  akhlaq diri, membina keluarga sakinah, mengembangkan kemampuan  berkomunikasi dan bersosialisai, bahkan mengembangkan potensi ekonomi.

ISLAMIC HOME-SCHOOLING

Islamic  Home-Schooling (Selanjutnya akan disingkat IHS) adalah Home-Schooling  yang diselenggarakan bertitik tolak dari pertimbangan syar’i, yakni  kewajiban orangtua untuk mengasuh dan mendidik anak, serta dijalankan  dengan mengikuti tuntunan AlQuran dan AsSunnah sebagaimana dipahami dan  diamalkan para pendahulu ummat ini yang shalih (AsSalafush Sholih).

Tujuannya  adalah :

1. Terciptanya keluarga sakinah; yang di dalamnya semua  hak dan kewajiban tertunaikan dengan sebaik-baiknya

2.  Terbentuknya generasi penerus yang bertauhid, berpegang kepada sunnah,  berakhlaq mulia, berbadan sehat, multi-cerdas, kreatif dan mandiri serta  memiliki semangat untuk membela Islam dan kaum muslimin

SUBYEK  IHS

IHS PERMATA HATI dimaksudkan bagi anak usia 0 – 13  tahun secara umum. Atau sampai anak berusia 16 tahun bagi orangtua yang  memiliki kemampuan mengajarkan gramatika Bahasa Arab (kitab gundul) dan  ilmu-ilmu syar’i tingkat menengah. Adapun setelah anak memasuki usia  baligh maka anak harus diarahkan untuk melakukan rihlah ilmiyyah guna  menimba ilmu dari para ulama, jika hal itu memungkinkan (dan memang  harus diupayakan).

MENGAPA “ISLAMIC HOME-SCHOOLING” ?

Menyelenggarakan IHS membutuhkan motivasi yang luar biasa besar dari  pihak orangtua. Motivasi akan muncul ketika seseorang dengan sadar dan  yakin memahami alasan mengapa dia melakukan sesuatu. Maka kita dituntut  untuk memiliki prinsip.

Ada beberapa pertimbangan yang dapat  dijadikan prinsip dalam menyelenggarakan IHS :

  1. Pertimbangan  syar’i. Dalam syari’at, kewajiban mendidik anak adalah tanggung jawab  orangtua.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan  keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;  penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai  Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu  mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim : 6)

“Setiap  anak yang dilahirkan berada di atas fithroh (Islam), maka kedua  orangtuanyalah yang menjadikan dia yahudi atau nasrani atau majusi.”  (HSR. Malik, Ahmad, AlBukhori, Muslim, Abu Daud, AtTirmidzi)

  1. Pertimbangan fakta sejarah.

Banyak kisah dalam AlQuran yang  menggambarkan peran orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak-anak  mereka. (Baca : Qs. Maryam 54-55, QS. Luqman : 13). Interaksi Rasulullah  shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan cucu beliau, Hasan dan Husain, atau  dengan sepupu beliau, Ibnu Abbas, atau dengan putera asuhnya yang  berkhidmat kepada beliau, Anas bin Malik juga dapat kita jadikan  referensi. Dari kalangan ulama Islam, tercatat misalnya Ibnul jauzi yang  menulis kitab khusus untuk puteranya yang berisi petunjuk menuntut ilmu  secara lengkap, Laftatul kabid fi nashihatil walad (Kitab ini patut  menjadi rujukan dalam IHS).

  1. Pertimbangan naturalitas.

Perhatikanlah, anak ayam belajar tentang hidup kepada induknya. Anak  kucing belajar tentang hidup kepada induknya. Bayi ikan paus belajar  tentang hidup berpuluh tahun pada induknya. Tapi lihatlah si ujang dan  si nyai. Kepada siapa mereka belajar tentang hidup ? Ah kasihan sekali,  mereka belajar tentang hidup kepada orang lain yang tidak benar-benar  mengenalnya !

  1. Pertimbangan orisinalitas dan individualitas  anak.

Orisinalitas (keaslian) seorang anak adalah : fithroh,  keingintahuan dan kreatifitasnya. Sedangkan individualitas (ke-diri-an),  meliputi qolb dan jasad (contoh yang jelas : sidik jari, suara dan  DNA). Orisinalitas dan individualitas menyebabkan tiap anak unik dalam  segala hal, termasuk cara belajar mereka. Agar mereka dapat menemukan  cara belajar mereka yang unik, anak wajib mendapatkan kebebasan. [4]

DARI MANA KITA MEMULAI ?

  1. Tashihun  Niyyah (memperbaiki niat)

Mendidik diri dan keluarga adalah  ibadah. Ada dua rukun ibadah, salah satunya adalah niat yang ikhlash.  Rukun yang lain : muwaafaqotusy-syar’i, yakni cocok dengan aturan  syari’at. Jika salah satu rukunnya rusak maka amal akan menjadi sia-sia.

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia, Maka kami segerakan  baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami  kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya  dalam keadaan tercela dan terusir (terjauhkan dari rahmat Allah) QS.  AlIsra: 18

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan  perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan  mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan  dirugikan.

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat  kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan  di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”.  (QS. Huud :  15-16)

Niatkan ber-IHS dalam rangka menjalankan kewajiban syar’i  dengan mengharap keridhoan Allah dan jannah-Nya.

  1. Bagi yang  masih lajang dan berniat ber-IHS, maka berhati-hatilah memilih calon  ibu/ayah dari anak anda. Tetapkan pilihan Anda itu di atas dasar Din.  Jangan silau dengan penampilan zhahir.
  1. Keluarga sakinah  sebagai prasyarat

Salah satu keuntungan ber-IHS adalah kita  memiliki kemauan kuat dan terprogram untuk mewujudkan Keluarga Sakinah.  Hal yang mungkin terabaikan jika kita melempar tanggung jawab mendidik  anak (usia 0-13 thn) kepada orang lain. Alasannya sederhana. Saat kita  memutuskan ber-IHS, kita ingin suasana lingkungan rumah tertata  se-Islami mungkin. Kita takut anak kita mendapat pengaruh buruk dari  kebiasaan buruk kita selaku orang tua. Maka selalu ada upaya untuk  memperbaiki diri dan keluarga.

Apa itu Keluarga Sakinah ?  Definisi yang paling teknis adalah : Keluarga yang di dalamnya, semua  hak dan kewajiban tertunaikan dengan baik. Syaikh Muhammad Bin Sholih  Al-Utsaimin dalam kitabnya, “Huququn da’at ilaihal fithroh wa  qorrorot-hasy syari’ah”, menerangkan 10 hak yang wajib ditunaikan, yakni  : Hak-hak Allah, hak-hak Nabi, hak-hak orangtua, hak-hak anak, hak-hak  kerabat, hak-hak suami-istri, hak-hak pemimpin dan rakyat, hak-hak  tetangga, hak-hak kaum muslim secara umum, hak-hak non muslim.

Semua  hak ini wajib dipelajari secara rinci agar bisa ditunaikan dengan benar  dan sempurna. Langkah pertama adalah mempelajari. Langkah kedua  menerapkannya. Langkah ketiga terus-menerus mengevaluasi sisi mana yang  belum tertunaikan. Mewujudkan keluarga sakinah menjadi bukan khayalan  lagi, melainkan kesungguh-sungguhan yang berkesinambungan.

  1. Dengan sepenuh hati menyukai anak anda.

Senang bersamanya, sedih  berpisah darinya. IHS menuntut komitmen total dari orangtua, khususnya  ibu. IHS bukan sekedar memindahkan belajar dari sekolah ke rumah  melainkan sebuah pola interaksi ideal orangtua-anak yang dibalut  kehangatan dan kelembutan.

  1. Menjaga rumah dari syetan

Kita  adalah ‘keluarga besar’ Nabi Adam ‘alaihis salam. Apa yang menimpa  beliau bersama isterinya, Hawa, adalah bagian dari sejarah dan hidup  kita hari ini. Adam adalah bapak kita dan Hawa adalah ibu kita, dan kita  mengetahui apa yang telah menimpa mereka diakibatkan kedengkian iblis.  Membaca ulang kisah awal penciptaan manusia akan membantu kita memahami –  atau tepatnya : selalu tersadarkan – tentang asas pendidikan Islami  yang sebenarnya. Maka kenalilah iblis dan tipu dayanya lalu jadikanlah  dia musuh untuk diperangi.

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh  bagimu, Maka jadikalah ia musuh(mu), Karena Sesungguhnya  syaitan-syaitan itu Hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi  penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir : 6)

Beberapa  kiat menjaga rumah dari syetan :

1. Perbanyak melakukan sholat di  rumah [5] , 2. Perbanyak membaca Al Quran di rumah, 3. Biasakan dzikir  pagi dan sore, 4. Jaga adab-adab di rumah yang di dalamnya ada  bacaan-bacaan yang disyari’atkan, 5. Bersihkan rumah dari gambar atau  bentuk-bentuk salib, 6. Bersihkan rumah dari gambar-gambar hewan dan  manusia, 7. Bersihkan rumah dari patung hewan dan manusia, 8. Bersihkan  rumah dari suara lonceng, 9. Bersihkan rumah dari suara musik, 10.  Jangan biarkan anjing berkeliaran di sekitar rumah. 11. Bersihkan rumah  dari kemungkaran.

  1. Menciptakan lingkungan rumah yang kondusif :  aman, sehat serta penuh daya-rangsang terhadap kreatifitasnya

Tentang  kriteria aman, sehat dan penuh daya rangsang dapat dipelajari lebih  lanjut dari beragai referensi. Hanya saja ada 2 prinsip yang perlu  dicatat :

Pertama, lebih baik membatasi lingkungan daripada  membatasi anak. Kedua, kurangi aturan (omelan-omelan) dengan cara  menetapkan tempat tertentu untuk barang tertentu kemudian beri label dan  tempel aturan singkat yang jelas dan dapat dibaca anak.

  1. Memiliki kemauan keras untuk mempelajari baca tulis AlQuran dan  ilmu-ilmu syar’i tingkat dasar

Dapat dikatakan bahwa materi  pelajaran inti yang wajib diajarkan kepada anak usia s/d 13 tahun (usia  ibtida-iyyah) adalah apa yang juga wajib diketahui semua muslim dan  muslimah. Maka tidak ada alasan untuk menghindari kewajiban  mempelajarinya, walaupun sekiranya kita tidak memiliki anak. Apalagi  jika kita memiliki anak. Jelaslah ber-IHS merupakan peluang emas bagi  kita untuk meningkatkan kwalitas keislaman kita.

  1. Mempelajari  keterampilan mendidik dengan cinta

Peran orangtua dalam mendidik  anak persis seperti petani yang menanam padi di sawah. Yang harus  dikerjakan dan selalu diperhatikan ada 5 hal :

1. Mempelajari  ilmu tentang bercocok tanam (poin g dan h)

2. Memilih benih yang  unggul (poin b)

3. Mempersiapkan lahan dengan mencangkul dan  membajak (a, d, c dan f)

4. Memberikan nutrisi yang cukup : air  dan pupuk

5. Menjaga dari hama (poin e)

Selanjutnya petani  tidak ikut campur lagi. Bagaimana benih padi itu akan tumbuh, berapa  lama berbiji dan menghasilkan biji seberapa banyak adalah merupakan  ketentuan Allah. Petani tidak boleh dan memang tidak bisa intervensi.  Petani sudah berusaha maksimal. Dia akan mendapatkan pahala di sisi  Allah, jika amalnya itu ikhlash dan sesuai dengan syari’at.

Semuanya  sudah dijelaskan kecuali nomor 4, memberikan nutrisi. Nutrisi dalam  mendidik adalah : Rasa hormat yang tulus pada anak, Penuh pengertian,  Peka terhadap masalah dan kebutuhannya, Menerima apa adanya dengan  lapang dada. Jika menggunakan kosakata populer : Respek, Empati,  Sensitif dan Penerimaan (dapat disingkat RESeP).

APA YANG  HARUS DIAJARKAN ?

Untuk matapelajaran umum dapat  mengacu pada kurikulum Diknas. Bisa juga menetapkan sendiri. Menjadikan  hidup sebagai kurikulum, tidak ada yang melarang.

Penting untuk  selalu diingat : bahwa cara dan pola pendekatan Home-Schooling dalam  menyampaikan materi pelajaran murni berbeda dengan di sekolah. Dalam  Home-Schooling yang ditekankan adalah memilih cara berinteraksi dan  berkomunikasi yang tepat serta khas antara orangtua dan anak.

Orangtua  dituntut kreatif dalam memilih metode dan media yang membuat interaksi  menjadi hangat dan akrab. Jadikan proses belajar sebagai proses alamiah  hubungan orangtua-anak (seperti halnya melahirkan, menyusui dan memberi  makan). Semua momen interaksi orangtua-anak adalah belajar. Jadi dalam  Home-Schooling anda bisa gunakan waktu kapanpun – jika dianggap tepat –  untuk memberikan penguatan-penguatan pada salah satu materi yang menurut  anda perlu diperkuat.

Materi Diniyyah yang diajarkan di IHS  PERMATA HATI, secara garis besar meliputi :

A. Tarbiyah  Syakhshiyyah (Pembinaan Karakter)

B. Tahfizhul Quran

C.  Tahfizhul Ahaadits

B. ‘Ulum Syar’iyyah (Ilmu-ilmu Syar’i) :  Aqidah, Manhaj, Fiqh, Tafsir, Akhlaq, Tarikh

C. Bahasa Arab

MENEPIS  KERAGUAN

· Keraguan Pertama : “Aku tidak bisa  menghadapi anak !”

Jawaban : Kala anda memutuskan untuk menikah,  apakah tidak terpikirkan bakal memiliki anak ? Mempelajari keterampilan  mengasuh dan mendidik anak adalah konsekwensi yang harus anda pikul dari  keputusan yang anda ambil itu. Kecuali anda seorang egois yang hanya  memikirkan kesenangan pribadi dari sebuah pernikahan ! Perhatikanlah,  banyak orang yang mempelajari keterampilan seksual dengan cara membeli  banyak buku referensi atau berkonsultasi kepada pakar seks, meski  keterampilan tersebut amat sangat bersifat primitif dan – maaf –  menjijikan kala dibuka di depan publik. Mengapa anda kalah oleh mereka.  Anda bisa bersaing dengan mereka dengan mempelajari keterampilan yang  jauh lebih penting, yakni keterampilan mendidik anak. Banyak wanita  khawatir penampilannya tidak lagi menarik di hadapan suami lalu berusaha  keras dengan berbagai cara. Tapi amat sedikit yang khawatir kalau  penampilannya tidak lagi menarik di hadapan anak-anaknya sehingga tidak  melakukan apapun untuk mereka. Ah, tragis sekali !

· Keraguan  kedua : “Aku bukan ustadz !”

Jawaban : Ini sudah dijelaskan,  bahwa materi pelajaran inti yang wajib diajarkan kepada anak usia s/d 13  tahun (usia ibtidaiyyah) adalah apa yang juga wajib (fardhu ‘ain)  diketahui setiap muslim dan muslimah. Maka tidak ada alasan untuk  menghindari kewajiban mempelajarinya, walaupun sekiranya kita tidak  memiliki anak. Apalagi jika kita memiliki anak. Anda bisa bertanya pada  diri sendiri : “Apakah kalau aku tidak ber-IHS, aku bebas dari kewajiban  mempelajarinya ?”.

· Keraguan ketiga : Seorang ibu barangkali  berkata : “Kalau aku secara total harus mengurus anak, bagaimana aku  bisa mengembangkan diri ?”

Jawaban : Saya ingin menepis keraguan  ini dengan menukil beberapa kalimat yang ditulis seorang wanita barat  yang beragama nasrani, agar kaum muslimat – yang telah dijaga kehormatan  dirinya oleh Allah dengan hijab – dapat merenungkannya (semoga  kesimpulan mereka sama dengan saya, bahwa kalimat-kalimat ini lebih  layak diucapkan oleh seorang muslimah yang berhijab) :

“Dalam  budaya Barat, terbebas dari tanggung jawab mengasuh anak seringkali  dipandang sebagai cara terbaik dan satu-satunya cara bagi seorang ibu  untuk mengembangkan diri. Saya tidak setuju sama sekali dengan pandangan  seperti itu. Waktu yang saya habiskan di rumah, bermain dan belajar  bersama anak-anak, adalah masa paling produktif dalam hidup saya. Saya  serius!”. (Marty Layne, Ibuku Guruku, hal. 26) Selanjutnya dia berkata  di hal. 364 : “Sebenarnya hanya dengan benar-benar merawat dan mengasuh  anaklah kita belajar bagaimana menjadi ibu.” . Lanjutnya lagi, masih di  hal. 364 : “Mari kita lihat sebagian cara untuk mengembangkan kehidupan  yang tidak mengharuskan pemisahan dari anak-anak kita.”

Kemudian  dia memberikan contoh : membaca, merajut, membuat karya tulis atau  berolah raga ringan !

MEMETIK MANFAAT

Apa  manfaat menjalankan IHS ? Kalau saja tidak ada manfaat lain dari IHS  selain pahala dari sisi Allah atas upaya kita menunaikan peran dan  kewajiban selaku suami/istri dan atau ayah/ibu secara maksimal dan  optimal, maka bagi seorang mukmin hal itu sudah cukup. Tapi ada banyak  manfaat lain yang semuanya sudah disinggung pada penjelasan yang  terdahulu. Semoga bermanfaat.

Karawang, 28 Shafar 1428 H/18 Maret  2007

———————————————————-

[1] Contoh kecil : Menurut  keterangan Direktur Bank Mu’amalat Indonesia, bahwa panjang pantai  Indonesia adalah 88.000 km sehingga menempatkan Indonesia termasuk 10  negara berpantai terpanjang di dunia. Ironisnya, kita masih mengimpor  1,5 juta ton garam per tahun !

[2] “Your child can think like a  genius, How to unlock the gifts in every child”, karya Bernadette Tynan,  presiden Beautiful Minds, sebuah lembaga amal yang didirikan untuk  mendanai penelitian-penelitian yang bertujuan mengembangkan bakat alami  anak-anak, mantan dosen senior pada Research Centre for Able Children di  Oxford. (Diterjemahkan dengan judul : “Melatih anak berpikir seperti  jenius, Menemukan dan mengembangkan bakat yang ada pada setiap anak”,  Penerbit Gramedia). Inti buku itu adalah memperkenalkan : Thumb Print  Learning, yakni : cara belajar seunik sidik jari.

[3] Belajar  secara mulaazamah kepada masyayikh, sebagaimana dijalankan para salafus  sholih berabad-abad lamanya, memberikan banyak kebebasan kepada siswa  untuk menentukan matapelajaran apa yang akan dipelajari dan bagaimana  dia mengembangkannya. Sehingga para siswa memiliki kesempatan yang luas  untuk menemukan sendiri cara belajarnya yang unik. Allaahu a’lam.

[4]  Bebas adalah keadaan seseorang ketika melakukan sesuatu dengan senang  hati dan atas pilihannya sendiri. Mukmin, ketika melakukan ketaatan  (menunaikan perintah Allah dan menjauhi laranganNya) melakukannya dengan  senang hati dan berdasarkan pilihannya sendiri, bukan karena tekanan.  Maka mukmin adalah orang yang sungguh-sungguh bebas dalam makna yang  hakiki. Munafiq adalah orang yang sungguh-sungguh terbelenggu jiwanya.  Kafir juga bebas, tetapi kebebasannya bersifat maya (semu), karena  secara internal dia sedang berperang dengan fithrohnya dan terbelenggu  oleh hawa-nafsunya, serta berada di bawah ancaman azab. Dari definisi  ini, dapat disimpulkan bahwa peran orangtua adalah ‘menanamkan’  pemahaman yang benar tentang kebaikan dan keburukan ke dalam pikiran  anak, sehingga nanti anak bertindak berdasarkan pemahaman, bukan karena  paksaan dari luar. Proses menanam ini harus dilakukan dengan dengan :  ikhlash, berkesinambungan, multi-metode serta pendekatan lembut dan  penuh kesabaran. Tidak ada batasan waktu tertentu yang diperlukan untuk  proses ini. Nabi Nuh ‘alaihi salam tinggal bersama kaumnya selama 950  th, berdakwah siang malam (kesinambungan), dengan i’lan dan isror  (multi-metode). Tidak dapat dikatakan gagal, hanya karena sedikit yang  mengikutinya. Tidak ada kata GAGAL dalam kamus mendidik, jika sudah  dilakukan dengan benar. Kita bertanggung jawab pada proses bukan pada  hasil ! Menemukan cara yang pas untuk menanamkan pemahaman yang benar  pada pikiran anak adalah sebuah seni mendidik yang amat indah!  Selebihnya adalah kesiapan kita untuk memberi tempo yang cukup kepadanya  untuk tumbuh dan berkembang.

[5] Pria dewasa wajib sholat fardhu  di masjid. Jadi yang dimaksud bagi mereka adalah memperbanyak  sholat-sholat sunnah di rumah.

sumber:
http://learningathome.wordpress.com/2007/07/06/islamic-home-schooling/

  • Click to share on Twitter (Opens in new window)
  • Click to share on Facebook (Opens in new window)
  • Click to share on Pinterest (Opens in new window)
Next Post ❯ ❯

Comments

  1. Dee - HDR says

    June 9, 2017 at 11:17 pm

    Menarik sih memang konsep homeschooling untuk anak 🙂

    Reply
    • Ummu-Una says

      June 11, 2017 at 6:19 am

      ya, mba dee.. menarik banget… 😀

      Reply
  2. vivi ulfiah says

    April 2, 2019 at 4:54 pm

    Assalamualaikum, ana tertarik setelah ana membaca artikel ttg IHS permata hati..ana tinggal di cibarusah… Kalau boleh ana tahu,,IHS permata hati berlokasi dimana?..apakah ada brosur pendaftara dan biayanya… Ana memang berniat ingin mendaftarkan anak ana untuk home schooling terutama yg berbasis sunnah..syukron..

    Reply
    • Ummu-Una says

      June 15, 2019 at 9:11 pm

      maaf kami kurang tau juga, mba. setau saya di sekitar karawang

      Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Cari….

Kunjungi Kami di Youtube

Channel Youtube Kami




Talking Hafiz Doll

ads_lela

Hafiz Talking Doll atau Hafiz Doll atau Boneka Hafiz Quran adalah solusi untuk mengenalkan kecintaan terhadap Al Quran sejak usia dini dengan menggunakan boneka yang lucu dan menyenangkan.

Paling Banyak Dilihat

  • Echolalia alias membeo, gangguan bicara pada Anak
  • Shalatnya seorang ibu..

Kategori

  • ADD
  • ADHD
  • Autis
  • Bapake
  • Download
  • Islamic Homeschooling
  • Islamic Parenting
  • Our Homeschooling Story
  • Parenting dan Psikologi Umum
  • Review Buku
  • Review Tempat
  • Speech Delay
  • Taqi's Story
  • Ummi's Story
  • Una's Story
  • Uncategorized
  • Video
  • Home
  • Ummi’s Story
  • Islamic Homeschooling
  • Una’s Story
  • Taqi’s Story
  • benkdash

Pretty Chic Theme By: Pretty Darn Cute Design